Maslahah
Mursalah
(Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Ilmu Fiqih)
Disusun Oleh:
Mukhlish Ridho Ainur Rohmah
Sidrotul Laily Mishbahuddin
Kisno Umbar
Asep Irawan
Dosen Pengampu:
Dr. K. H.
Chamzawi

Jurusan Bahasa
dan Sastra Arab
FAKULTAS
HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah menurunkan
agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya, Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung
aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWT agar manusia selamat, baik
di dunia maupun di akhirat. Agama Islam beserta
aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu,
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.
Adakalanya Wahyu yang
diturunkan oleh Allah untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi
oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah
asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah SAW, segala
permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau.
Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat
final.
Pada masa ini, sumber hukum
yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’andan Hadits Nabi yang merupakan
empirisasi. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya
sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di
bidang hukum.
Terkadang, masalah yang
sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam
rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi
tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah
menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala
itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad Setelah periode sahabat
berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam
tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Namun karena persoalan hukum yang dihadapi
oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana
dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya,
maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath
hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan
(Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) serta
lainnya.
Namun kami disi lebih mengupas mengenai
Maslahah-Mursalah, walaupun tak spefikasi namun mencoba memberikan sebuah
informasi mengenai masalah ini, sehubungan dengan pemenuhan tugas kelompok.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian maslahah mursalah?
2.
Apa macam-macam
maslahah mursalah?
3.
Bagaimana syarat-syarat untuk dijadikan hujjah?
4.
Bagaimakah pandangan Ulama terhadap maslahah mursalah?
5.
Bagaimanakah Contoh hukumnya?
C. Tujuan
1. Mengetahui
definisi maslahah mursalah.
2. Mengetahui macam-macam maslahah mursalah.
3. Mengetahui syarat dan kehujjahan maslahah
mursalah.
4. Mengetahui bagaimana pandangan Ulama terhadap maslahah mursalah.
5. Memahami
bagaimana penerapan hukum maslahah
mursalan dalam contoh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Maslahah Mursalah
Maslahah secara
bahasa atau etimologi (bahasa Arab) adalah kemanfaatan kebaikan kepentingan.
Dalam bahasa indonesia sering ditulisi dan disebut dengan kata maslahat (lawan
kata dari mafsadat ) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan
(keselamatan) faedah : guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan.
Kebaikan : manfaat: kepentingan[1].
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi etimologi, kata al-maslahah
menunjukkan kepada pengertian manfaat dan guna itu sendiri (secara langsung)
dan kepada sesuatu yang menjadi sebab (secara tidak langsung) dan melahirkan
keduanya (maslahah langsung dan tidak) demikian juga kata al-mafsadah[2].
Adapun pengertian
maslahah secara terminologi istilah yang
dipilih ulama fiqih) ada beberapa perbedaan yang tidak terlalu prinsip seperti
dijelaskan al-munawwar. Maka dalam memberikan pengertian al-maslahah secara
terminologi ditemukan perbedaan pendapat para ulama[3].
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam definisi yang diberikan,
diantaranya:[4]
1.
Imam Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut:
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع
الحكيم لعبادة في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسلهم وأموالهم
Artinya:
“Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh Pemberi hokum (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan
agamanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
2.
Menurut Imam Al-Ghazali
فهي عبارة في الأصل عن الجلب منفعة أو دفع
مضرّ
Artinya:
“Mashlah pada dasarnya meraih manfaat
dan menolak mudharat.”
3. Menurut Muhammad Habsi As-Shiddiqi
المحافظة على مقصود الشارع بدفع المفاسد عن الخلق
Ketiga definisi di atas mempunyai tuuan yang sama, yaitu memelihara
tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak medharat dan meraih manfaat atau
mashlahah.
B. Macam-Macam Maslahah
Maslahah dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat
dari segi tingkatan dan eksistensinya :
1. Maslahah dari Segi Tingkatannya[5]
Ulama ushul membagi maslahah dari segi tingkatan kepada tiga bagian,
yaitu :
a. Maslahah Dharuriyah (Primer)
Maslahah dharuriyah adalah
perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila
ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka
rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran
yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang
merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu :
1.
Jaminan keselamatan
agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
2. Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
3. Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
4. Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh
alan-nasl)
5. Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
Di antara syari`at yang
diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela
agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan
orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga
menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
Di antara syari`at yang
diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh
makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga
kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Di antara syari`at yang
diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum
khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan
meminumnya.
Di antara syari`at yang
diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri
dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina,
laki-laki atau perempuan.
Kemaslahatan dalam taraf
ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga
dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan
akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam.
Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
b. Maslahah Hajjiyah (Sekunder)
Maslahah hajjiyah ialah,
semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain
(yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga
terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan
dan bidang jinayat.
Termasuk kategori hajjiyat
dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang
dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh,
salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka
puasa bagi musafir, dan orang yang sakit ataupun bolehnya mengqoshor sholat
ketika dalam perjalanan.
Termasuk dalam hal hajjiyah
ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya
kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup
manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam
hajjiyah.
c.
Maslahah tahsiniyah atau
kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah Tahsiniyah ialah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan
yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih
mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة)
sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat
diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak
tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah
juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan
ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian
yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui
amalan-amalan sunnah, seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah dan
lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum,
memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tidak baik/bernajis.
Dalam lapangan muamalah,
misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada
orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya
dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan
tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah
lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat
yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini
tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi
menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan
membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak
membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan
kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa
dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh
sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman
makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya[6].
2. Maslahah dari Segi
Eksistensinya
Dalam menguak metode
kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi
penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi
yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya
berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum.
Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran
hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib
terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu :
a. Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah
kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan
mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh
syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al
– Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan
yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa,
keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid
asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar berusaha dengan
untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk
demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku
pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada
maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi
tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
b. Maslahat Mulgah
Maslahat mulghah ini ialah
maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat
yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan
dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini
dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh:
menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara
laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan
ketentuan nash.
Namun penyamakan ini dengan
alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan
Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang
menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga
macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan
berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka
tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat
hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus
dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan
boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang
lebih tepat.
3. Maslahah Mursalah
3. Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah ialah
maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya
ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan
syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang
dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak
ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih
pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah
menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar
ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal Al-mula’im, sebagian ulama
menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara Imam Haromain dan
Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja[7].
C. Syarat-syarat untuk Dijadikan Hujjah
Barang siapa yang mengemukakan hujjah dengan mushlahah
mursalah, mereka itu harus berhati-hati, sehingga bagi tasyri’ bukanlah
merupakan pintu untuk memperturutkan hawa nafsu dan keinginan. Ulama yang menerima mashlahah mursalah sebagai dalil untuk
menetapkan hokum menetapkan sejumlah syarat.[8]
1. Kemaslahatan
tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata. Tegasnya,
maslahat itu dapat diterima secara akal keberadaannya. Sebab, tujuan
pensyariatan suatu hokum dalam Islah bertujuan untuk mendatangkan manfaat atau
menghilangkan kemudharatan. Hal ini tidak akn terwujud apabila penetapan hokum
didasarkan pada kemaslahatan yang didasarkan praduga (walimah).
2. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqashid
al-syar’I dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil qath’i. Dengan kata
lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan kemaslahatan yang telah ditetapkan
Syari’. Atas dasar ini,
tidak tidak diterima penyamaan hak anak laki-laki da anak perempuan dalam
kewarisan meskipun didasarka atas mashlahat. Sebab kemashlahatan seperti ini
bertentangan dengan nash qath’I dan ijma’ ulama.
3. Kemaslahatan
itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu
atau sejulah individu. Ini mengingat bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua
manusia. Oleh sebab itu, penetapan hokum atas dasar mashlahat bagi kalangan
tertentu, seperti penguasa, pemimpin atau keluarga tidak sah dan tidak boleh
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua
manusia.
D. Pandangan Ulama Maslaha
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah
Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai
ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah
mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
1.
Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah
mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa
mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang
mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak
hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”(Q.S: Al-hijr:9).
2.
Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan
maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena
merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
3.
Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus
yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami
kesulitan, Allah berfirman:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam
agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam
malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap
maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya
kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan
pendapatnya dengan beberapa alasan:
1.
Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi
kesakralitasan hukum-hukum syariat.
2. Posisi maslahah
mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada
sebagian yang lain.
3. Penerapan
maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam. Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode
ishtimbath hukum dengan alasan:
a.
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan
bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
b.
Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan[9].
E. Contoh Permasalahan Hukum Mashlahah Mursalah
Untuk lebih memahami apliksi hukum mashlahah
mursalah, maka harus ada beberapa contoh, diantaranya;
Pertama, umat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf.
Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada
perwakafan benda tak bergerak, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan
masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu
untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.
Pada saat ini, obyek wakaf,
baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya untuk
lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah atau
rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan wakaf
uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat menciptakan
kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai pengelolaan nadhir yang
profesional. Hasilnya untuk dana pembangunan seperti untuk pembangunan
jalan-jalan, selokan, tempat ibadah, memajukan dunia pendidikan, dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyaakat.
Dalam hal ini MUI Pusat tanggal
telah mengeluarkan yang meyatakan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dalam bentuk uang tunai,
termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Hukum wakaf dengan
uang itu asalkan nilai pokok wakaf uang itu tidak boleh dijual, dihibahkan atau
diwariskan dan penggunaannya harus untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syara’.
Fatwa MUI Pusat lewat komisi fatwanya tentang kebolehan wakaf dengan uang tunai
itu sesuai dengan pendapat Imam az-Zuhri
(w. 124 H.) yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang yang waktu itu uang berupa
dinar dan dirham36.
Kedua, dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada
saat
itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu
penting dan bermanfaat. Di sisi
lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam
Islam, bahkan mendatangkan
maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban,
kepastian hukum, dan mencegah
terjadinya perkawinan monogami atau poligami yang
liar. Oleh karena dengan
pertimbangan maslahah mengharuskan adanya
pencatatan perkawinan seperti
tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI.
Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI jelas-jelas disebutkan
“Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat”.
Ketiga, adalah pemberian upah
minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika melihat pada nash, maka tidak dijumpai
mash yang menunjukkan pada hukum masalah, al-Qur’ân dan al-sunnah tidak memberi
perintah kepada masalah ini, tetapi hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para
pekerja sektor riil seperti pekerja pabrik, karyawan supermarket dan sebagainya
yang bekerja selama delapan jam lebih, dan mereka berhak mendapatkan upah yang
layak untuk mencukupi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.
Sehingga negara dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang layak bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas kehidupannya.
Selanjutnya
adalah memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu
penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi
kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang
rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti
kecelakaan, perampokan dan sebagainya, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Definisi Mashlahah Mursalah
Dari segi bahasa atau etimologi (bahasa Arab) adalah
kemanfaatan kebaikan kepentingan.
Dari segi etimologi, kata al-maslahah menunjukkan
kepada pengertian manfaat dan guna itu sendiri (secara langsung) dan kepada
sesuatu yang menjadi sebab (secara tidak langsung) dan melahirkan keduanya
(maslahah langsung dan tidak) demikian juga kata al-mafsadah.
Pendapat Imam
Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut:
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع
الحكيم لعبادة في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسلهم وأموالهم
Artinya:
“Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan
oleh Pemberi hokum (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya,
akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
2.
Macam-Macam Mashlahah Mursalah
a.
Maslahah dari Segi
Tingkatannya
1. Maslahah Dharuriyah (Primer)
2. Maslahah Hajjiyah (Sekunder)
3. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
b.
Maslahah dari Segi
Eksistensinya
1. Maslahat Mu’tabarah
2. Maslahat Mulgah
3. Maslahah Mursalah
3.
Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah Dijadikan Hujjah
a.
Kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga
semata.
b.
Kemaslahatan itu sejalan dengan maqashid al-syar’I dan
tidak bertentangan dengan nash atau dalil qath’i
c.
Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan
bagi individu tertentu atau sejulah individu.
4.
Pandangan Ulama Terhadap Hukum Mashlahah Mursalah
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas penerapanya.
5.
Contoh Mashlahah Mursalah
Pemasang
rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak
dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara
kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi
menghindari kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya.
B. Saran
Sebagai umat
muslim, kita hendakya tidak gampang-gampang memutuskan suatu hokum baru tanpa
mengetahui ilmu ushul fiqih yang luas. Dengan adanya makalah ini, kami sebagai
tim penyusun pembaca dapat mengambil manfaat, teori maupun praktek.
Daftar Pustaka
Haika, Ratu, Maslah
Mursalah Sebagai Metode dalam Penetapan Hukum Islam
Syarifudin,
Amir; 2004, Ushul Fiqh, Jakarta, Zikrul
Tamrin, Dahlan;
2007, Filsafat Hukum Islam, Malang, UIN Press
Umam, Chaerul,
dkk; 1998, Ushul Fiqih I, Bandung, CV Pustaka Setia
Wahab Khallab,
Abdul; 2005, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Asdimahasatya
http://abdurrahman.heck.in/makalah-maslahah-mursalah.xhtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar