بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Kamis, 07 Mei 2015

Maslahah Mursalah




Maslahah Mursalah
(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Ilmu Fiqih)
Disusun Oleh:
Mukhlish Ridho  Ainur Rohmah
Sidrotul Laily      Mishbahuddin
                                           Kisno Umbar      Asep Irawan    
Dosen Pengampu:
Dr. K. H. Chamzawi
Description: Description: Description: Description: Description: Description: D:\Logo\Logo UIN\Logo_UIN_Maulana_Malik_Ibrahim_Malang.jpg







Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


Daftar Isi


 

 

 





 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Allah SWT telah menurunkan agama Islam kepada umat manusia dengan perantaraan nabi-Nya, Muhammad SAW. Agama Islam yang merupakan agama universal mengandung aturan-aturan hukum yang langsung dari Allah SWT agar manusia selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Agama Islam beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Saw.
Adakalanya Wahyu yang diturunkan oleh Allah untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu Pada masa Rasulullah SAW, segala permasalahan yang dihadapi para sahabat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan demikian, jawaban rasul terhadap pertanyaan-pertanyaan itu bersifat final.
Pada masa ini, sumber hukum yang digunakan adalah dua, yaitu al-Qur’andan Hadits Nabi yang merupakan empirisasi. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, meluasnya wilayah kekuasaan Islam, rihlahnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya sahabat yang syahid di medan laga, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum.
Terkadang, masalah yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat mengenal teknik Nabi berijtihad Setelah periode sahabat berlalu, pemecahan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
 Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istishlah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab (Imam Ahmad bin Hambal) serta lainnya.
  Namun kami disi lebih mengupas mengenai Maslahah-Mursalah, walaupun tak spefikasi namun mencoba memberikan sebuah informasi mengenai masalah ini, sehubungan dengan pemenuhan tugas kelompok.

B.     Rumusan Masalah

1.        Apa pengertian maslahah mursalah?
2.        Apa macam-macam  maslahah mursalah?
3.        Bagaimana syarat-syarat untuk dijadikan hujjah?
4.        Bagaimakah pandangan Ulama terhadap maslahah mursalah?
5.        Bagaimanakah Contoh hukumnya?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui  definisi maslahah mursalah.
2.      Mengetahui macam-macam maslahah mursalah.
3.      Mengetahui syarat dan kehujjahan maslahah mursalah.
4.      Mengetahui bagaimana pandangan Ulama terhadap maslahah mursalah.
5.      Memahami bagaimana penerapan hukum maslahah mursalan dalam contoh.
           









 





BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Maslahah Mursalah

Maslahah secara bahasa atau etimologi (bahasa Arab) adalah kemanfaatan kebaikan kepentingan. Dalam bahasa indonesia sering ditulisi dan disebut dengan kata maslahat (lawan kata dari mafsadat ) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan) faedah : guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan. Kebaikan : manfaat: kepentingan[1].
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi etimologi, kata al-maslahah menunjukkan kepada pengertian manfaat dan guna itu sendiri (secara langsung) dan kepada sesuatu yang menjadi sebab (secara tidak langsung) dan melahirkan keduanya (maslahah langsung dan tidak) demikian juga kata al-mafsadah[2].
Adapun pengertian maslahah secara terminologi  istilah yang dipilih ulama fiqih) ada beberapa perbedaan yang tidak terlalu prinsip seperti dijelaskan al-munawwar. Maka dalam memberikan pengertian al-maslahah secara terminologi ditemukan perbedaan pendapat para ulama[3].
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam definisi yang diberikan, diantaranya:[4]
1.      Imam Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut:
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعبادة في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسلهم وأموالهم
Artinya:
Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Pemberi hokum (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
2.      Menurut Imam Al-Ghazali
فهي عبارة في الأصل عن الجلب منفعة أو دفع مضرّ
Artinya:
Mashlah pada dasarnya meraih manfaat dan menolak mudharat.”
3.      Menurut Muhammad Habsi As-Shiddiqi
المحافظة على مقصود الشارع بدفع المفاسد عن الخلق
Ketiga definisi di atas mempunyai tuuan yang sama, yaitu memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak medharat dan meraih manfaat atau mashlahah.

B.     Macam-Macam Maslahah

Maslahah dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya :
1.      Maslahah dari Segi Tingkatannya[5]
Ulama ushul membagi maslahah dari segi tingkatan kepada tiga bagian, yaitu :

a.       Maslahah Dharuriyah (Primer)
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu : 
1.      Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
2.      Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
3.      Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql) 
4.      Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl) 
5.      Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal) 
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.

b.      Maslahah Hajjiyah (Sekunder)
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.
Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sakit ataupun bolehnya mengqoshor sholat ketika dalam perjalanan.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

c.         Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.
Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah, seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tidak baik/bernajis.
Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Di antara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari’atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya[6].

      2.  Maslahah dari Segi Eksistensinya
Dalam menguak metode kontroversial ini terdapat pertalian erat dengan pembahasan qiyas yaitu sisi penggalian illat (legal clause) yakni al-munasabah (pemaparan sifat/kondisi yang secara rasio selaras dengan penerapan hukum.) Bila syara’ mengakuinya berarti al-munasib tersebut layak dijadikan sandaran penetapan hukum. Sebaliknya bila syara’ menolaknya maka tentu ia tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Berpijak dari hal ini ditinjau dari aspek kelayakannya al-munasib terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu :

a.    Maslahat Mu’tabarah
Mashlalah mu’tabarah ialah kemashlahatan yang terdapat dalam nash yang secara tegas menjelaskan dan mengakui kebenarannya. Dengan kata lain yakni kemaslahatan yang diakui oleh syar’i dan terdapatnya dalil yang jelas, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al – Said Ali Abd. Rabuh. Yang masuk dalam mashlahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan dan harta benda, yang selanjutnya kita sebut dengan maqashid asy-syari’ah. Oleh karena itu. Allah SWT telah menetapkan agar berusaha dengan untuk melindungi agama, melakukan qishas bagi pembunuhan, menghukum pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu’tabarah wajib ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.

b. Maslahat Mulgah
Maslahat mulghah ini ialah maslahat yang bertentangan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan dalil yang jelas. Dapat disimpulkan juga bahwa syara’ menyikapi maslahat ini dengan menolak keberadaannya sebagai variabel penetap hukum (illat). Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamakan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash.
Namun penyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh. Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan yang terdiri dari tiga macam kafarat. Menurut konsep kaffarat ini dogmatik yang menghendaki adanya kemaslahatan berupa tindakan jera (al-zajr) tanpa mempertimbangkan maslahat lainnya maka tidak diragukan bahwa menurut sebagian orang ia tidak dapat dijadikan illat hukum karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Jadi kafarat ini harus dilakukan secara berurutan Lain halnya dengan pendapat Imam Malik ia mengatakan boleh memilih diantara ketiga kafarat itu dengan tujuan demi kemaslahatan yang lebih tepat.

3. Maslahah Mursalah
Mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya. Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan. Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum. Kalangan Malikiyyah menyebutnya maslahah mursalah, Al-Ghozali menyebutnya istishlah, para pakar ushul fiqih menyebutnya al-munasib al-mursal Al-mula’im, sebagian ulama menyebutnya al-istidlal al-mursal, sementara   Imam Haromain dan Ibnu Al-Sam’ani memutlakkannya dengan istidlal saja[7].

C.    Syarat-syarat untuk Dijadikan Hujjah

Barang siapa yang mengemukakan hujjah dengan mushlahah mursalah, mereka itu harus berhati-hati, sehingga bagi tasyri’ bukanlah merupakan pintu untuk memperturutkan hawa nafsu dan keinginan. Ulama yang menerima mashlahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hokum menetapkan sejumlah syarat.[8]
1.      Kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata. Tegasnya, maslahat itu dapat diterima secara akal keberadaannya. Sebab, tujuan pensyariatan suatu hokum dalam Islah bertujuan untuk mendatangkan manfaat atau menghilangkan kemudharatan. Hal ini tidak akn terwujud apabila penetapan hokum didasarkan pada kemaslahatan yang didasarkan praduga (walimah).
2.      Kemaslahatan itu sejalan dengan maqashid al-syar’I dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil qath’i. Dengan kata lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan kemaslahatan yang telah ditetapkan Syari’. Atas dasar ini, tidak tidak diterima penyamaan hak anak laki-laki da anak perempuan dalam kewarisan meskipun didasarka atas mashlahat. Sebab kemashlahatan seperti ini bertentangan dengan nash qath’I dan ijma’ ulama.
3.      Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejulah individu. Ini mengingat bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua manusia. Oleh sebab itu, penetapan hokum atas dasar mashlahat bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin atau keluarga tidak sah dan tidak boleh karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua manusia.

D.    Pandangan  Ulama  Maslaha

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
1.            Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
 “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr:9).   
2.            Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
3.            Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
1.            Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
2.      Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
3.      Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam. Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath hukum dengan alasan:
a.       Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
b.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan[9].

E.     Contoh Permasalahan Hukum Mashlahah Mursalah

Untuk lebih memahami apliksi hukum mashlahah mursalah, maka harus ada beberapa contoh, diantaranya;
Pertama, umat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf. Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada perwakafan benda tak bergerak, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.
Pada saat ini, obyek wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan wakaf uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai pengelolaan nadhir yang profesional. Hasilnya untuk dana pembangunan seperti untuk pembangunan jalan-jalan, selokan, tempat ibadah, memajukan dunia pendidikan, dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyaakat.
Dalam hal ini MUI Pusat tanggal telah mengeluarkan yang meyatakan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Hukum wakaf dengan uang itu asalkan nilai pokok wakaf uang itu tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan dan penggunaannya harus untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syara’. Fatwa MUI Pusat lewat komisi fatwanya tentang kebolehan wakaf dengan uang tunai itu  sesuai dengan pendapat Imam az-Zuhri (w. 124 H.) yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang yang waktu itu uang berupa dinar dan dirham36.
Kedua, dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat
itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu penting dan bermanfaat. Di sisi
lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan
maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban, kepastian hukum, dan mencegah
terjadinya perkawinan monogami atau poligami yang liar. Oleh karena dengan
pertimbangan maslahah mengharuskan adanya pencatatan perkawinan seperti
tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI.
Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI jelas-jelas disebutkan “Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Ketiga, adalah pemberian upah minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika melihat pada nash, maka tidak dijumpai mash yang menunjukkan pada hukum masalah, al-Qur’ân dan al-sunnah tidak memberi perintah kepada masalah ini, tetapi hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para pekerja sektor riil seperti pekerja pabrik, karyawan supermarket dan sebagainya yang bekerja selama delapan jam lebih, dan mereka berhak mendapatkan upah yang layak untuk mencukupi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sehingga negara dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang layak bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas kehidupannya.
Selanjutnya adalah memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya, dan masih banyak lagi contoh lainnya.


















BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Definisi Mashlahah Mursalah
Dari segi bahasa atau etimologi (bahasa Arab) adalah kemanfaatan kebaikan kepentingan. Dari segi etimologi, kata al-maslahah menunjukkan kepada pengertian manfaat dan guna itu sendiri (secara langsung) dan kepada sesuatu yang menjadi sebab (secara tidak langsung) dan melahirkan keduanya (maslahah langsung dan tidak) demikian juga kata al-mafsadah.
Pendapat Imam Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut:
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعبادة في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسلهم وأموالهم
Artinya:
Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Pemberi hokum (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”
2.      Macam-Macam Mashlahah Mursalah
a.       Maslahah dari Segi Tingkatannya
1.      Maslahah Dharuriyah (Primer)
2.      Maslahah Hajjiyah (Sekunder)
3.      Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
b.      Maslahah dari Segi Eksistensinya
1.      Maslahat Mu’tabarah
2.      Maslahat Mulgah
3.      Maslahah Mursalah

3.      Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah Dijadikan Hujjah
a.       Kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata.
b.      Kemaslahatan itu sejalan dengan maqashid al-syar’I dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil qath’i
c.       Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejulah individu.

4.      Pandangan Ulama Terhadap Hukum Mashlahah Mursalah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya.
5.      Contoh Mashlahah Mursalah
Pemasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya.

B.     Saran

Sebagai umat muslim, kita hendakya tidak gampang-gampang memutuskan suatu hokum baru tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih yang luas. Dengan adanya makalah ini, kami sebagai tim penyusun pembaca dapat mengambil manfaat, teori maupun praktek.

















Daftar Pustaka

Haika, Ratu, Maslah Mursalah Sebagai Metode dalam Penetapan Hukum Islam
Syarifudin, Amir; 2004, Ushul Fiqh, Jakarta, Zikrul
            Tamrin, Dahlan; 2007, Filsafat Hukum Islam, Malang, UIN Press
            Umam, Chaerul, dkk; 1998, Ushul Fiqih I, Bandung, CV Pustaka Setia
            Wahab Khallab, Abdul; 2005, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Asdimahasatya
            http://abdurrahman.heck.in/makalah-maslahah-mursalah.xhtml




[1] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdor, Kamus kontemporer Arab –Indonesia hal 1741
[2] Drs.H.Dahlan Tamrin, M.Ag., Filsafat Hukum Islam hal 114.
[3] ibid
[4]Chaerul Umam, Dkk, Ushul Fiqih 1 hal 135
[5] .Dr.H.abd. Rahman Dahlan,M.A. hal 307
[6] ibid
[7] ibid
[8] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih hal 92
[9] http://abdurrahman.heck.in/makalah-maslahah-mursalah.xhtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar