ketika apa yang sudah direnungkan dan benar benar difikirkan ternyata jalnnya tidak mudah, aku tidak ingin move on, aku akan mencoba dan akan mencoba sebisaku.
tidak ada yang mudah semuanya harus bersungguh sungguh . teringat kata Imam Ghozali ingin mendapatkan apa yang kita inginkan kita harus merasakan pahit dahulu.
apa yang menjadi pilihan kita, harus dipertanggung jawabkan, so dicoba dulu,,, :)
judul ..?
jodoh.... ?
dua hal yang sama-sama menebarkan semuanya butuh usaha, tidak mudah didapatkan.
apa yang sudah kita genggam jangan mudah kita lepaskan,, :)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Selasa, 20 Oktober 2015
Jumat, 02 Oktober 2015
PARA TOKOH YANG PRO DAN KONTRA TERHADAP TASAWUF
MAKALAH
TOKOH PRO DAN KONTRA DALAM TASAWUF
Dosen pengampu : Dien nur Chotimah M,Pd
Disusun oleh :
Ramaditya domas : 12310075
Sidrotul laily : 12310076
Misbahuddin hasan : 12310077
Tirawati : 12310080
Ukhtul istifada : 12310081
Thusan hamidi : 12310087
BAHASA DAN SATRA ARAB
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Agama islam
secara garis besar berisi ajaran tentang akidah (keyakinan) dan tata akidah
yang mengatur semua perikehidupan dan penghidupan manusia dalam berbagai
hubungan, baik vertikal maupun horizontal. Dalam pengertian ini terkandung
konsep keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Tasawuf
merupakan salah satu aspek esoterik islam, sekaligus sebagai perwujudan dari
ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung antara seorang hamba dan tuhannya.
Sufisme bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan tuhan. Sementara itu,
intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniyah antara manusia
dan tuhan melalui komtemplasi. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi bersih
hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya ilahi. Dengan
demikian, perlakuan seseorang akan tereflesikan dalam berbagai tindakan dan
dalam berkomunikasi secara baik dengan tuhan sebagai perwujudan hablu minallloh
(hubungan vertikal dan hubungan baik sesama manusia) sebagai perwujudan hablu
minannas (hubungan horizontal).
Kajian-kajian
tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan bathin dan kesucian jiwa dan
lebih mementingkan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada alloh. Dengan
demikian, seluruh dimensi hidup dipenuhi dengan kondisi keadaan jiwa yang
selalu berdzikir, mulai dari lisan, anggota tubuh, peredaran darah, pikiran
(akal dan rasio), serta perasaan. Inilah yang membuat seseorang selalu
istiqomah, stabil, penuh motivasi, serta optimisme.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.2.1
Siapa tokoh-tokoh pro dan kontra
tasawuf?
1.2.2
Bagaimana argumentasi para tokoh
pro dan kontra tasawuf?
1.2.3
Bagaimana menyikapi pro dan kontra
tasawuf?
1.3
Tujuan Pembahasan
1.3.1
Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh
pro dan kontra tasawuf
1.3.2
Untuk mengetahui argumentasi para
tokoh pro dan kontra tasawuf
1.3.3
Untuk mengetahui gambaran dalam
menyikapi pro dan kontra tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Pro Kontra Tasawuf
Tasawuf, yang
dikalangan Barat dikenal dengan mistisme islam, merupakan salah satu aspek
(esetoris) islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran
adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi
tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf
sebagai ilmu keislaman merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena itu, tasawuf
seperti halnya ilmu-ilmu lainnya tidak terlepas dari kritikan-kritikan dari
berbagai golongan yang menentangnya.[1]
Menurut Sayyid
Nur Bin Sayyid Ali, kritik terhdap tasawuf
berlatar belakang insiden jelek yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H,
ketika aliran-aliran kebatinan, syi’ah, qaramithah, dan kafir zindik
memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan islam berada pada `kondisi
yang sangat berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelengahan bagi orang sufi.
Kejadian itu ialah Ibnu Saba’, orang berdarah yahudi memanfaatkan cinta ahl
bait sebagai tipu daya. Dia menebarkan benih fitnah dan perang sipil yang
menyebabkan wafatnya khalifah Usman Bin Affan r.a dan gurunya sekitar 10.000
orang sahabat dan tabi’in sebagai syahid.
1.2
Tokoh-Tokoh dan Argumentasi Pro Tasawuf
1.2.1
Sayyidina Ali bin Abi thalib
Tokoh besar yang juga khlifah keempat (dari tahun 35-40 H /
656/-661 M), dikenal sebagai seorang yang gagah berani serta memiliki kehidupan
kerohanian yang subur. Pekerjaan, dedikasi, serta cita-cita yang besar
menyebabkan beliau tidak mempedulikan lagi bahwa pakaian yang di kenakan telah
robek karena mumuk. Kalau pakaiannya robek, dijahitnya sendiri. Pernah ada
orang yang bertanya, “ mengapa sampai begini ya Amir al-Mu’minin?” beliau
menjawab, “ untuk mengkhusyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang
beriman” (Hamka, Tasawwuf perkembangan hal.31). wajar bila disamping
sebagai khalifah, beliau juga dijadikan sebagai imam (pemimpin sepiritual) bagi
umat, dan kewafatannya mengakhiri masa-masa al-Rasyidun , pemimpin yang
berdasarkan atau mendapatkan petunjuk lurus (Hugh Kennedy, 1986:75-81).[2]
Dalam tasawwuf tariqot, nama Ali menjadi otoritas dibawah nabi saw.
Dari hampir semua silsilah tarekat. Selain itu, kehidupannya yang bersahajaa,
berbasis pada sikap wira’i dan qanaah, membuat beliau sangat dicintai oleh
orang-orang sufi. Dia juga terkenal dengan kezuhudannya, pengasih serta suka
bekerja keras dalam mewujudkan cita-citanya (1984:245-250). Demikian pula
halnya dengan keluarga serta anak-anaknya, tumbuh menjadi tokoh-tokoh sufi awal
yang terkemuka.
1.2.2
Abu Yazid al Busthami
Lahir sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, bagian timur laut
persia, dengan nama lengkap Abu Yazid bin Isa Syurusan al- Bustami. Ia
meninggal dan dimakamkan pada tahun 261 H /875 M ditempat yang sama (Farid
al-Din al-Attar,1979:100). Mengenai penulisan namanya, terdapat berbagai
variasi, seperti Bayazid, Al-bustami, Al-Bistami, Al-Bastomi. Kuburannya
berdampingan dengan sufi terkenal lainnya, yakni Al-Hujwiri, Nashiri Khusraw,
dan Al-Yaquti. Tahun 1313 didirikan kubah megah oleh seorang sultan Mughal,
Muhammad Khubandana atas nasihat gurunya, syekh syafr al-Din salah seorang
keturunan Al-Bustami.[3]
Ia terkenal dengan kezuhudannya yang aksetis, dengan meletakkan
zuhud menjadi zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zuhud kepada
selai Allah sehingga menimbulkan ingatan yang manunggal, yakni tidak mengingat
apa-apa selain Allah. Disinilah kemudian paham sufinya banyak ditentang ulama faqih.
Sebab, dari asketismenya itu,kemudian Abu Yazid dipandang sebagai pembawa
paham al fana’ dan al-baqa’, sekaligus mencetus paham al-ittihad. Arberry
menyebutnya sebagai first of the intoxited sufis (sufi yang mabuk
kepayang pertama kali). Abu yazid baru terkenal melalui Al-Attar yang banya
menuliskan tentang ajaran serta latar belakang hidupnya.
Kepribadian serta paham dan ajarannya sangat mengesankan sekaligus
membingungkan bagi orang sezaman dan sesudahnya sehingga Al-junaid memandang
bahwa dia belum sampai pada ujung pencariannya. Nicholson berpendapat bahwa
paham al-fananya mungkin dipengaruhi paham Hindu dari gurunya, Abu Ali
al-Sindi.
Schimmel meragukan analisis itu sebab justru tampaknya Abu Yazid
telah samapai di ujung pencariannya sendiri melalui pengalaman al-fananya.
Sebab, dengan kefanaanya itu, Abu Yazid “pergi” meniggalkan dirinya menuju
kepadanya. Kemudian muncul melalui syatahat darinya walaupun hal ini
oleh Al-taftani dipandang sebagai ungkapan yang berlebiahn dari Abu Yazid.
Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketuhanan dirinya itulah yang kemudian
disebut sebagai paham al-ittihad (Nasution, hal. 84-85; Mahmud, t.t.:310).
Ketika ditanya mengenai sunnah dan fardu, Abu Yazid menjawab “ sunnah ialah
meninggalkan dunia dengan segalanya isinya, dan fardu ialah bersahabat dengan
Allah”.
Namun, yang perlu dicatat bahwa Al-Sulami dalam tabaqat
al-shufiyah, Al-thusi dalam al-Luma’, telah membahas ungkapan-ungkapan Abu
Yazid yang ternyata sejalan dengan Al-Quran dan sunnah, serta berpendapat bahwa
tasawwuf yang diajarkannya seiring dengan kedua sumber ajaran islam tersebut.
1.2.3
Abu Mansyur Al-Hallaj
Nama lengkap tokoh sufi legendaris ini adalah Abu al-Mughits
al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi (Lewis, 1971:99), tetapi kemudian
lebih dikenal sebagai Al-Hallaj. Ada berbagai pendapat tentang gelar Al-Hallaj
ini. Al-Salma menyatakan bahwa gelar Al-Hallaj diperoleh ketika Al-Mansur
berada di wasit menjumpai seorang penenun.[4]
Ia lahir pada tahun 244 H/858 M di Thur, salah satu desa sebelah
timur laut baidha’, persia, dimana Sibawai pernah dilahirkan. Kakeknya,
Muhammad adalah seorang Majusi sebelum masuk islam. Namun, riwayat ini kurang
begitu kuat. Adapun yang banyak dipegangi oleh ahli sejarah sufi adalah yang
menyatakan bahwa ia keturunan Abu Ayub, sahabat Rasulullah.
Sejak usia dini, ia sudah bergaul dengan tokoh-tokoh sufi. Dalam
usia 16 tahun, sudah berguru kepada sahl bin Abdullah al-Tustari. Setelah dua
tahun belajar dengan latihan-latihan berat, ia pergi ke Basrah dan selanjutnya
ke Baghdad. Pada tahun 873 hingga 879, ia hidup dalam petapaan bersama-sama
dengan guru Al-Tsuri, Amr Al-Makki dan Junaid Al-Baghdadi. Dari sekian banyak
ulama yang dia pernah belajar itu, kemudian membuatnya merumuskan ajaran
sendiri sehingga pada usia 53 tahun telah menjadi orator yang banyak
dibicarakan ulama karena paham tasaawwufnya yang berbeda dengan yang lain.
Karena pahamnya itu, ulama Zahiri, Abu Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa yang mngatakan bahwa paham Al-Hallaj sesat. Fatwa itu berpengaruh
luas sehingga membuatnya terpenjara. Namun, keudian dia dapat melarikan diri
dengan pertolongan seorang sipir yang tertrik dengan kepribadiannya. Kemudian
ia melarikan diri ke Sus, kawasan Ahwas dan bersembunyi selama empat tahun.
Pada tahun 301 H/903 M, dia kembali ditangkap dan dipenjara selama 8 tahun
namun tetap tidak menggoyahkan pendiriannya. Tahun 921 M diadakan persidangan
ulama dibawah kerajaan Bani Abbas, masa pemerintahan Al-Muktadirbillah. Tanggal
18 Dzulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum mati dengan
terlebih dahulu dicambuk, disalib, kemudian dipotong kedua tangan dan kakinya,
di penggal lehernya lalu potongan-potongan tubuh itu dibiarkan beberapa hari
dan baru kemudian dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Ibn Suraij memberikan informasi bahwa Al-Hallaj adalah tipe
sempurna ulama islam. Ia hafal Al-Alquran dan syarat dengan pemahamannya,
menguasai ilmu fiqih dan hadits, serta memiliki kemampuan tinggi dan sempurna
dalam tasawwuf. Pribadinya pun dihiasi hampir dengan semua kesalehan (Ibnu
Khalikan t.t. II:44) sehingga kepribadiannya ini mampu melahirkan karya-karya
gemilang mengenai tasawuf.
Karya yang paling terkenal dan banyak dikaji oleh ulama dan
pengamat adalah al-tawashin. Inti ajaran Al-Hallaj adalah meliputi tiga
persoalan pokok : (1) al-hulul, (2) haqiqat muhammadiyah, dan (3) wahdat
al-adyan (Nicholson,1976:29-32;A. Qdir Mahmud, 1966:337-361). Akan tetapi dalam
studi tasawwuf, Al-Hallaj dipandang sebagai peletak pertama paham wahdat
al-wujud, yang kemudian dijabarkan secara lebih rinci beserta proses menuju ke
maqam tersebut oleh Ibnu Arabi di kemudian hari.
1.3
Tokoh-Tokoh dan Argumentasi Kontra
Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu aspek esotoris islam
sekaligus perwujudan ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung dengan
tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah SAW.
Meskipun demikian tasawuf merupakan hasil kebudayaan sebagaimana ilmu keislaman
lainnya seperti ilmu fiqih dan ilmu tauhid. Oleh karena itu, tasawuf tidak lepas
dari berbagai kritik.
Ada pihak yang menggap bahwa tasawuf tidak berasal dari
Rasulullah dan para sahabat. Mereka menganggap ajaran ini merupakan ajaran
sesat yang diambil dari ajaran Nasrani, Hindu, Yahudi dan Budha. Disamping itu
juga ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang menghancurkan
islam.menurut mereka diantara tujaun terpenting dari konspirasi tersebut yaitu
:
·
Menjauhkan
kaum muslim dari ajaran yang hakiki dengan kedok islam.
·
Menyebarkan
akidah Yahudi,Kristen,Hindu dan Budha
Para kritikus memiliki persepsi bahwa tasawuf bersumber
dari luar islam berikut adalah komentar mereka.[5]
1.3.1
Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil
Berpendapat
bahwasanya tasawuf itu hina. Setan telah membuatnya untuk memerangi Allah dan
Rasulullah serta menipu para hambanya. Tasawuf adalah topenng kaum majusi agar
terlihat seperti orang yang ta’at kepada tuhannya bahkan juga topeng semua
musuh islam.
1.3.2
Syaikh Ihsan Ilahi zhahir
Ihsan Ilahi Zhahir bin Zhuhur
Ilahi bin Ahmduddin bin Nizhamuddin., salah seorang saudara beliau lahir pada
tahun 1940 di kota Siyalkut wafat th.1407 H. Yaitu sebuah kota tua di
Pakistan, di sebelah utara kota Propinsi Punjab. Kota ini terkenal dengan
kelahiran tokoh-tokoh dan ulama. Dan lingkungan yang sangat subur dengan ulama,
tentu sangat kondusif bagi perkembangan seorang anak. Demikian juga dengan
keberadaan Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir disana.
Jika kita memperhatikan dengan teliti tentang
tasawuf dan pendapat para sufi, maka
kita akan melihat dengan jelas perbedaanya dengan al qur’an dan sunnah. Kita
juga tidak melihat adanya bibit-bibit tasawuf di dalam perjalanan hidup nabi
dan para sahabat. Mereka itu manusia pilihan Allah. Namun kita dapat melihat
bahwa tasawuf diambil dari kependetaan nasrani, brahmana, hindu, ibadah yahudi,
dan zuhud agama budha.
1.3.3
Syaikh Al fauzan
Pendaptnya jelaslah bahwa tasawuf
adalah ajaran dari luar yang menyusup ke dalam islam. Hal itu tampak dari
kebiasaan-kebiasaan yang dinisbahkan kepadanya. Tasawuf adalah ajaran yang
asing di dalam islam dan jauh dari Allah.
1.3.4
Syaikh Shabir Tha’im
Jelas bahwa tasawuf terpengaruh
oleh kehidupan para pendeta nasrani. Mereka suka memakai pakaian dari bulu
domba dan berdiam di biara.
1.3.5
Ibnu ‘Ajibah
Ibnu Ajibah memiliki nama lengkap Abul Abbas
Ahmad bin Muhammad bin Al Mahdi bin Al Husain bin Muhammad bin Ajibah Al
Hajujiy Al Hasani. Lahir di tengah kabilah Hoz desa A'jabisy Anjra, Tetouan
Maroko tahun 1161 H atau 1160 H bertepatan tahun 1748 M. beliau lahir dari
keluarga sederhana, leluhurnya Muhammad bin Ajibah adalah seorang waliyullah
terkenal di kampungnya, begitu pula ayahnya Muhammad bin Al Mahdi (wafat 1196 H
/ 1781 M) dikenal sebagai orang soleh di kampungnya A'jabisy.
Mengklaim
bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah sendiri. Menurut Ibnu ‘Ajibah,
mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah
berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan
kedustaan, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah dengan membawa
ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya
dengan membawa ilmu hakikat. Beliaupun mengajarkan ilmu hakikat ini pada
orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali
bin Abi Thalib z, dan Al-Hasan Al-Bashri menimba darinya.
Pernyataan
Ibnu Ajibah dibantah oleh Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami berkata:
“Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap
Rasulullah. Dengan kedustaan, ia menuduh bahwa beliau menyembunyikan
kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali
seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia
dari Islam jika ia mampu. Karena Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk
menyampaikan kebenaran .[6]
1.4
Menyikapi Pro dan Kontra Tasawuf
1.4.1
Ibnu Taimiyah
Taqiy ad-Din Ibn Taimmiyyah lahir pada hari senin tanggal 10 Rabi’
al-Awal tahun 661 H. Bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1263 M. Di kota Harran.
Nama lengkapnya adalah Taqiy ad-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn
al-Imam Majd ad-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam ibn Abi Muhammad ibn Abdullah
ibn Taimiyyah al-Harrani. Nama Taimiyyah lebih dikenal sebagai sebuah nama
keluarga dari etnis kurdi meskipun ada pendapat lain yang mengaitkannya dengan
nama tempat di dekat Tabuk. Ibn Taimiyyah berasal dari keluarga intelektual
yang islami serta dihormati dan disegani masyarakat luas pada masanya. Ayahnya
bernama Syihab ad-Din Abd al-Halim ibn Abd Al-Salam (w. 1284 M). Ayah Taimiyyah
selain seorang alim besar beliau juga guru tafsir dan guru hadis di Masjid Raya
Kota Damaskus juga sebagai Direktur madrasa Dar al-Hadis al-Sukkariyah.[7]
Ibn Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak jenius yang
berkemauan keras dalam belajar, tekun dancermat, tegas dan teguh pendirian,
ikhlas dan rajin beramal serta rela berkorban dan selalu siap dalam perjuangan
membela kebenaran. Ia juga mempunyai daya hafalan yang luar biasa. Ini terbukti
sejak usia tujuh tahun sudah hafal seluruh Qur’an.[8]
Ibn Taimiyyah memperoleh pendidikan di sekolah ayahnya dan
lingkungan keluarga yang secara turun temurun merupakan tokoh intelektual. Di
samping itu dia juga belajar pada para ulama di kota Damaskus yang pada saat
itu merupakan salah satu pusat pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan
tempat berkumpulnya (halaqah) ulama-ulama
besar dari berbagai madzhab. Di antara guru Ibn Taimiyyah yang terkenal selain
ayahnya adalah pamannya yakni Syamsm ad-Din Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn
Ahmad al-Maqdisi (w. 1282 M.), seorang faqih ternama dan hakim agung pertama
dari mazhab Hanbali di Syria. Guru lainnya adalah Muhammad ibn Abd al-Qawiy ibn
Badran al-Maqdisi al-Mardawi (w. 1301 M.), al-Manja’ ibn Usman ibn Sa’ad
al-Tanawwukhi (w. 1297 M.), dan Abu Zahrah menginformasikan semua guru Ibn
Taimiyyah berjumlah 200 orang. Adapun ilmu-ilmu yang dia pelajari dari gurunya
antara lain Qur’an dan tafsir, hadis dan ilmu hadis. Selain belajar pada para
ulama’, Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang jenius,bahkan keluasan wawasan
dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca
dan dia teliti sendiri.[9]
Ibn Taimmiyah yang sepanjang hidupnya konon tidak pernah menikah,
telah dapat menyelesaikan studi keagamaannya secara formal sebelum melewati
usia 17 tahun dan dalam usia yang sama tela mengarang kitab,kemudian ketika
berusia 20 tahun ia menjadi mufti. Bahkan ketika ayahnya wafat ketika dia
berusia 21 tahun dia menggantikan jabatan ayahnya sebagai Direktur Madrasah Dar
al-Hadis al-Sukkariyyah. Pada masanya dia pun muncul sebagai tokoh dan pemimpin
utama mazhab Hanbali.[10]
Ibn Taimiyah menulis banyak karya besar yang menentang kaum Syi’ah,
Ahli Tasawuf, Kalam, Filsafat, perilaku taklid dalam fiqih, dan agama Kristen.
Salah satu karyanya berupa kitab yang sebagian berisi kritikan dan tantangan
terhadap ajaran Wahdat al-Wujud Ibn Arabi (w. 1240 M), ajaran tawassul dan
istigasah serta ajaran tasawuf lainnya yang oleh Ibn Taimiyyah dinilai
menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.[11]
Semasa hidupnya Ibn Taimiyyah sering mendapatkan hukuman di penjara
yang salah satu sebabnya adalah fatwa-fatwanya yang dijelaskan dalam bentuk
tulisan. Walaupun begitu Ibn Taimiyyah terus mengarang hingga akhirnya, pena,
tinta, dan kertasnya diambil darinya dan dia dilarang menulis lagi. Maka keluarlah
surat perintah sultan untuk merampas buku-buku dan perlengkapan alat tulis
dengan maksud untuk membendung kreativitas maupun pengaruh Ibn Taimiyyah. Pada
tanggal 9 Jumadil al-Akhir 728 H., atas nama pemerintah, semua alat baca dan
tulis berikut buku-buku yang ada di kamar Ibn Taimiyyah dikeluarkan dan disita.[12]
Bagi Ibn Taimiyyah, dibandingkan dengan hukuman yang lain, hukuman
pelarangan untuk membaca dan menulis agaknya dirasakan sebagai tekanan dan
pukulan yang paling berat, oleh karena itu Ibn Taimiyyah jatuh sakit selama
tiga minggu sampai akhirnya wafat pada malam 22 Dzu al-Qa’dah 728/26 atau 27
September 1328 M. Dalam usia 67 tahun.
Pemikiran keislaman Ibn Tasawuf khususnya pemikirab tasawuf sangat
ketat memegangi syari’at Islam yang murni (masa Salaf as-Salihin) sehingga menamakan pandangan tasawufnya dengan
istilah at-Tasawuf al-Masyru’ (tasawuf
yang disyariatkan) untuk membedakan dengan tasawuf lain yang dipandang telah
terkontaminasi oleh unsur-unsur di luar syariat Islam. [13]
Pandangan realis-empiris Ibn
Taimiyyah dalam bidang tasawuf tercermin pada penolakannya terhadap pemikiran
tasawuf yang bersifat spekulatif-intuitif
dan usahanya untuk selalu mendekatkan tasawuf dengan syariat serta
melucutinya dari unsur-unsur ekstatik (kefanaan).
Juga pandangan positif terhadap dunia sehingga konsep sufismenya cenderung dinamis dan empiris. Sehingga Fazlur Rahman menyebutnya sebagai pionir neo-sufisme. Pandangan lain adalah
kendati Ibn Taimiyyah meyakini adanya pengetahuan lewat pengalaman kasyf atau ilham para sufi tetapi secara rasional dia tidak menganggapnya
sebagai standar kebenaran yang pasti dan tidak terbantahkan. Menurutnya
kebenaran yang pasti hanya ada pada wahyu Allah yang diterima para rasul karena
secara intrinsik bersifat untestable. Ia
juga menyalahkan para sufi yang menjadikan pengalaman kasyf sebagai tujuan akhir atau ultimate
goal bagi perjalanan spiritual dan menganggapnya sebagai kriteria kebesaran
dan otoritas seorang wali. Baginya kebesaran dan otoritas seseorang lebih
ditentukan oleh sejauh mana ia sepenuhnya menjalankan seluruh aturan syariat
yang telah dicontohkan Rasul dan para sahabatnya. Dengan kata lain Ibn
Taimiyyah ingin membawa pengalaman kasyf kepada
tingkat proses intelektual yang sehat dan realistis serta menolat finalitas kasyf karena tidak empiris dan realis.[14]
Pandangan realis-empiris juga
terlihat pada pendiriannya tentang hakikat sufi sebagai orang yang
sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Karena sikap itu sesungguhnya
bukan monopoli kaum sufi tetapi juga para fuqaha, para pedagang yang jujur dan
pengusaha yang adil dan amanah. Tasawuf bukanlah jalan elite dan satu-satunya cara mendekatkan diri kepada Allah. Pandang
dan sikap praktis-empiris tersebut
adalah upaya untuk sedapat mungkin mengembalikan tasawuf ke pangkuan ortodoksi. Artinya Ibn Taimiyah
bermaksud membawa tasawuf untuk disesuaikan dengan apa yang diajarkan maupun
dipraktikkan Rasul dan para pengikutnya yang salih (al-Salaf as-Salihin).[15]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam aliran-aliran tasawuf, banyak
orang memandang dengan pandangan yang berbeda-beda. Diantaranya ada tokoh-tokoh
yang pro yang kontra terhadap tasawuf. Masing-masing dari para tokoh tersebut
mempunyai argumentasinya sendiri.
Adapun beberapa tokoh-tokoh pro
tasawuf, yaitu :
1.
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
2.
Abu Yazid Al-Busthami
3.
Abu Mansyur Al-Hallaj
Disamping itu, ada pula para tokoh
yang kontra terhadap tasawuf, diantaranya :
1.
Abdur Rahim Al-Wakil
2.
Ihsan Ilahi Dhahir
3.
Ibnu ‘Ajibah
4.
Al Fauzan
5.
Shabir Tha’im
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon
dan M. Solihin, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Cet 1
Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf, JP BOOKS, Surabaya, 2007, Cet 1
Solikhin,
Muhammad, Tradisi Sufi Dari Nabi, Cakrawala, Yogyakarta, 2009, Cet 1
Amin, Munir
Samsul, Ilmu Tasawuf, Amzah, Yogyakarta, 2012
Iqazhul Himam,
Fi Syarhil Hikam, dinukil dari
At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah,
[1]
M.Solihin Dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Hal 227
[2]
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi Dari Nabi, (Yogyakarta: Cakrawala). Hal
169
[3]
Ibid, hal 175
[4]
Ibid, 179
[5]
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta:
Amzah) Hal 383
[6]
Iqazhul
Himam, Fi Syarhil Hikam, hal. 5
dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 8
[7]
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, (Surabaya: JP BOOKS, 2007). Hal 28
[8]
Ibid, hal 29
[9]
Ibid, hal 30
[10]
Ibid, hal 31
[11]
Ibid, hal 35
[12]
Ibid, hal 38
[13]
Ibid, hal 50
[14]
Ibid, hal 69
[15]
Ibid, hal 70
Langganan:
Postingan (Atom)